Ketika Waisak Jadi Objek Wisata

0
Pesona Waisak oleh Satria Marsudi Nugraha
Pesona Waisak oleh Satria Marsudi Nugraha

Candi borobudur di bawah purnama, 6 Mei 2012 [21.00WIB]

Di bawah temaram rembulan yang utuh, puncak stupa borobudur yang melambangkan Nirwana nampak berkilau disinari lampu dari empat penjuru. Sementara siluet stupa-stupa kecil di bawahnya nampak seperti berlutut kepada sang Budha di altar utama.

Bulu kuduk saya merinding ketika kidung mulai digaungkan. Para biksu duduk bersila dan memejamkan mata di depan patung emas Budha. Suasana begitu mistis dan khusyuk, seharusnya. Namun, raungan shutter kamera dan sinar flash yang menyilaukan, tak pelak membuat suasana tak lagi khidmat – jika tak ingin dibilang mengerikan.

Saya mengikuti ritual Pradhakshina, ketika para umat Buddha mengelilingi candi sebanyak tiga kali. Para fotografer pun mengikuti prosesi tersebut. Rentetan flash kembali bertubi. Banyak mata mengerjap. Banyak mata pula – para fotografer – yang membara seperti tengah memburu mangsa.

Sebetulnya cahaya malam itu bisa dibilang tak terlalu gelap. Bulan terang benderang, dan lampu-lampu besar seperti stadion sepak bola sudah dinyalakan. Mungkin mereka tak seberuntung saya yang masih bisa mendapatkan kecepatan rana 1/250 detik dengan lensa f/1.4. Tapi ini bukan masalah alat. Ini adalah masalah toleransi, kepekaan serta empati. Dan, saya melihat memang beberapa oknum fotografer memang tak peka sama sekali.

Banyak oknum fotografer yang tak peka

***

Waisak diperingati dengan sakral, khidmat, dan penuh hormat di negara yang mayoritas Budha, seperti Thailand misalnya. Tapi sulit ditemui di negeri kita ini. Waisak disini lebih mirip seperti atraksi wisata dan festival untuk masyarakat. Sehari sebelum waisak, area sepanjang bagian luar candi borobudur hingga mendut sudah berubah jadi pasar malam. Apalagi di dalam kawasan candi, pekik kebisingan orang beradu dengan panjatan doa. Malam itu, waisak lebih mirip dengan arena pacu jawi, bukan ritual agama.

Para banthe yang sedang khusyuk berdoa pun, tak pelak menjadi objek jepretan photo – mungkin dengan alasan eksotisme. Saya adalah kaum mayoritas, yang melihat perayaan minoritas kadang dipandang sebelah mata oleh para oknum pemegang kamera. Para wisatawan itu tak menghormati jalannya ritual agama, malah dijadikan atraksi wisata.

Mungkin analogi ini kurang tepat; Tapi, saya jika sedang sholat, disenggol sedikit saja mungkin konsentrasi sudah pecah. Apalagi difoto dari jarak dekat, dengan flash, dan dengan orang yang pakaiannya sangat tidak sopan jika dilihat dari kacamata agama.

Mungkin bukan satu pihak yang salah pada kasus ini. Ada yang menyalahkan panitia, ada yang menyalahkan para wisatawan, dan pihak terkait lainnya. Saya pun geram ketika melihat sebuat tour agent yang memposting event di facebook-nya, ” Tour Waisak 3D2N, menikmati sunrise di stumbu dan lampion terbang waisak.” Tapi, yang pasti waisak adalah hari raya agama. Itu adalah Ibadah –  proses komunikasi manusia dengan Tuhannya – yang mana itu adalah hak asasi.

Biksu yang (mungkin) merasa terganggu ibadanya.

***

Malam semakin larut. Bulan masih terang benderang. Kemegahan candi peninggalan wangsa Syailendra ini makin menawan. Para wisatawan semakin membludak bak festival sekaten jogja. Mereka tumpah ruah untuk satu alasan – pelepasan seribu lampion – untuk menutup prosesi tri waisak. Para umat budha dan juga para wisatawan menuliskan impiannya di lampion, berharap supaya diangkat ke langit dan terkabul.

Saya cuma punya keinginan, supaya para oknum itu sadar, sehingga waisak-waisak berikutnya para umat Budha bisa merayakannya dengan khusyuk.

Lebih mirip seperti festival daripada ritual agama
1000 lampion terbang ke angkasa. Semoga keinginan saya terwujud.

Tulisan ini diikutkan dalam lomba blog ‘Dji Sam Soe Potret Mahakarya Indonesia’. Foto Inspirasi: Pesona Waisak oleh Satria Marsudi Nugraha