Senja Merah

19

ES_021

Di sebuah senja, di sebuah teluk di timur.

Saat matahari tak lagi ada tepat di atas kepala, saat itu pula ia akan menunjukan pendarnya yang paling jelita.

Cahaya putih sore akan perlahan menjadi jingga keemasan, yang disusul oleh semburat merah darah, diselingi ungu nan merdu.

Setelah hilang dari pandangan, ia masih menyisakan pendaran-pendaran warna primer yang menua, menghalang langit dari keadaan hitam pekat.

Beruntung, saat mata tak mampu lagi menatap sisa senja, shutter lambat kamera masih bisa mengindera cahaya magisnya.

Waktu seperti ini yang membuat saya merinding. Tak henti kamera saya arahkan ke mentari sore itu. Tak henti suara shutter dari kamera memecah keheningan senja. Seperti berkejaran dengan detak jantung saya.

Saya tak ingin kehilangan sedikit pun momen senja kala itu.

***

ES_012

“Berhentilah sejenak,” suara lembut itu tiba-tiba terdengar.

“Tapi…sebentar lagi mataharinya hilang, ” kataku menolak.

“Justru itu..letakan kameramu sejenak, kita nikmati senja ini bersama saja, ya?” katanya sambil tersenyum.

Benda hitam itu masih saja menutupi wajah saya. Saya tak menggubrisnya. Sampai sebuah tangan mendarat di pundak saya. Sambil memandang saya dengan senyum hangat, ia menggelengkan kepala.

Saya menurunkan kamera dari wajah. Membiarkan partikel-partikel cahaya emas hangat sore itu menerpa wajah. Saya tertegun. Tetiba saya ingin menyimpan keindahan ini di dalam hati saja.

“Aku suka sekali dengan senja,” ia berkata lagi, masih sambil melihat ke arah tenggelamnya matahari.

“Mengapa?”

“Ia selalu memberikan warna berbeda setiap hari. Walaupun mataharinya sama, entah mengapa cahaya senja itu selalu penuh harapan. Di akhir hari ini, ia nampak orang yang menangis, tapi sambil tersenyum,” ujarnya sambil tersenyum simpul.

“Akupun demikian. Sejak mengenal fotografi. Senja adalah hal pertama yang selalu ingin kuabadikan. Garis dan bentuk awan yang muncul selalu nampak romantis, bukan?”

“Kamu terlalu terburu-buru untuk memotretnya. Bagaimana kamu bisa dapat foto yang menyentuh emosi orang lain jika kamu sendiri tak merasakannya? Apa sebetulnya yang ingin kau tangkap?”

“Terkadang akupun merasa seperti itu,”

“Resapilah terlebih dahulu. Di depan kita ini, langit; adalah salah satu kanvas Tuhan yang terindah. Kamu ingin memotretnya seperti halnya kamu memotret perempuan-perempuan seksi itu?”

“Rasa-rasanya tidak…Ah, kamu ini…,”

Beberapa saat kemudian, garis-garis keemasan itu muncul. Ia memerah haru diselingi ungu kekuningan. Kami memandangnnya haru.

“Sekarang saat yang tepat untuk memotretnya,” kataku sambil menaruh si kotak bidik di atas tripod.

“Kamu suka senja merah kan? Kali ini aku ingin mengambilkannya untukmu,” kataku lagi sambil mengedipkan mata.

Ia masih memandang senja sambil tersenyum.

Senja yang romantis ini terasa makin bertambah syahdu. Sayup-sayup suara adzan memanggil kami dari kejauhan.

ES_020

19 COMMENTS

    • Sungguh indah lukisan sang pencipta,,tak ada kata selain “indah” yang bisa mengungkapkannya,,seperti sang “dia” yang menemani senja sore itu..

      Salam kenal om wira,,baru kali ini saya memberanikan diri untuk mengkomen segala hal yang tertuang di blog ini..

      Salam “Klik”

  1. Menyentuh banget sih Mas Wira tulisannya. Fotonya juga soothing banget :) wish your eyes are the camera then you can just leave your camera and take the pictures while enjoying the nature.

  2. dalem banget, romantisme di sore hari, kata2 “senja merah” ini kyanya sering sy denger tp di blog siapa gitu…^_^

Bagaimana menurutmu? Silakan tinggalkan komentar dibawah ini ya! :')