Tak heran dinamakan burung dari surga. Parasnya cantik, suaranya merdu, dan tempat tinggalnya yang memang bagai tetesan surga – Papua. Pulau paling timur Indonesia ini menyimpan begitu banyak keindahan, juga kegetiran.
LANGIT masih gelap ketika speedboat kami bersandar di dermaga sebuah pulau tak jauh dari dermaga Waiwo. Kantuk masih terasa. Pukul lima pagi waktu Indonesia timur, yang berarti masih pukul tiga pada jam biologis kami di Jakarta.
Sesosok hitam menunggu kami di gerbang desa ini. Treq. Ia menyalakan senter, mengarahkan ke masing-masing wajah kami, dan berkata datar, “Mari ikuti saya…,”
Kami pun berjalan menelusuri hutan di salah satu pulau kecil di kecamatan Waigeo ini. Hutan yang lebat dan rapat. Beberapa akar pohon sempat membuat saya tersandung. Walau hanya dengan bantuan senter, saya bisa melihat banyak pohon-pohon berdiameter besar di hutan pulau Gam ini.
Berjalan di tengah kegelapan hutan dengan suara-suara alam memang menjadi candu bagi saya, ada semacam romantisme dari suara sunyi dan desiran angin, walau tidak juga mengharap suara-suara yang datang dari dunia lainnya.
Sekitar setengah jam kami berjalan naik, akhirnya sampai di sebuah pondokan. Hanya terbuat dari bambu yang diikat membentuk rangka rumah dan atap alang-alang yang sudah dibolongi.
Perlahan mentari mulai menembus lebatnya hutan. Ada suara-suara dari balik pohon yang mengalihkan perhatian saya. Suara itu begitu indah, menyatu dengan suara angin yang menggetarkan dedaunan. Saling bersahutan.
“Pssssst. Jangan berisik, sebentar lagi dia muncul,” kata sesosok hitam, bapak setengah baya yang tadi mengantar kami kemari.
Bapak itu kemudian menunjuk ke atas. Dan, sayapun melihatnya. Warna badannya dominan merah, dengan leher kuning serta kepala hijau. Ia masih muda, ekornya belum terlihat bermekaran seperti yang saya sering lihat di buku-buku. Namun, suaranya yang melengking tajam nan merdu benar-benar membuat pagi saya begitu lengkap. Ia bersahutan, mencari perhatian betina.
Tetiba muncul satu lagi makhluk serupa, ia duduk di pucuk pohon lohan yang tingginya puluhan meter ini. Entah apa yang mereka bicarakan, saya hanya bisa menikmati canda dua makhluk ini dari bawah rumah bambu, sambil sesekali memotret.
***
Cendrawasih merah, adalah salah satu satwa endemik yang masih berada di kawasan Raja Ampat, Papua Barat. Tepatnya di kampung Sawinggrai, pulau Gam. Pulau yang penuh kesederhanaan ini adalah salah satu kawasan yang ditinggali oleh burung yang disebut bird of paradise, cendrawasih. Selain cendrawasih, banyak spesies lainnya yang tinggal disini seperti kakatua raja, kakatua putih, nuri, maleo dan masih banyak lagi. Saat perjalanan pulang, saya pun menemui banyak sekali anggrek hutan liar yang tumbuh disini. Bumi cendrawasih memang kaya akan biodiversitas di laut maupun di darat.
Tapi, sama seperti kawasan Indonesia timur lainnya. Masyarakat disini masih jauh dari kata sejahtera. Terlihat rumah-rumah kayu tua menghiasi pinggir pantai pulau. Saat saya hendak membeli air mineral 1.5 liter, betapa kagetnya bahwa harganya adalah 12 ribu rupiah! Dan, saya lebih kaget lagi bahwa harga bensin disini, satu liternya sama dengan air mineral tersebut. Tapi, katanya ini masih jauh lebih murah daripada di pedalaman pegunungan papua yang bisa puluhan ribu harganya.
“Jangan kaget di papua harga mahal, pak. Kirim sayur saja kadang harus pake pesawat,” kata salah satu guide saya disini.
Inilah salah satu masalah besar di timur Indonesia, khususnya papua. Tak adanya akses yang memadai di pedalaman, maupun ke pulau-pulau kecil membuat harga kebutuhan menjadi melonjak. Saya teringat sebuah film yang berjudul di Timur Matahari, saat Vina (Laura basuki), yang baru saja datang ke Papua terkaget saat berbelanja kebutuhan pokok yang harganya mencapai jutaan rupiah. Ia bergumam,”Pantas saja mereka ingin merdeka…..,”
Saya, bagaimanapun, tidak ingin kembali kesini dan masuk harus menggunakan paspor.
***
Di balik itu semua, kehidupan disini begitu tenang. Pagi hari terlihat anak-anak yang bermain kesana kemari. Nelayan yang sibuk membetulkan jaringnnya. Di bawah rumah panggung, terlihat ikan-ikan berschooling ria di antara terumbu karang. Pernah membayangkan pekarangan rumah kita adalah hamparan laut biru dengan terumbu karang sehat yang berwarna-warni? Mereka mempunyainya.
Saya menghampiri anak-anak tersebut. Mereka tersenyum malu saat saya mengeluarkan kamera. Ada seorang anak kecil yang hampir menangis saat saya ingin memotretnya. “Dia takut kemarin banyak bule yang motret dia,” ujar bapaknya kepada saya.
Bermain dengan anak-anak ini seperti memutar waktu ke zaman saya masih kecil di desa. Tak ada internet, atau blackberry yang menemani anak-anak ini. Tak ada mall tempat mereka menghabiskan hari libur. Ada sekelompok anak lelaki yang sedang membuat mobil-mobilan dari batang pohon. “Siapa yang ajari buat ini adek?” teman saya bertanya padanya, “Buat sendiri,” katanya sambil tersipu. Dalam hati saya berkata, mudah-mudahan sinyo hitam dari timur ini bisa membuat mobil sungguhan suatu saat nanti. Amin.
pfft beda ya yg pake 5d mah -__-
pffft 6d lah mirrr beli hahaha, eh siapa itu mir namanya yang anak kecil botak bikin mobil?
” Akhirnya saya terlihat agak putih di sini …”, segitu takutnya dibilang item Wir …….. ha … ha … ha….
nggak bro, item itu seksi dan eksotis *dikeplak*
empat jempol untuk wira. keep educate people, wir! bahwa destinasi wisata tak melulu soal keindahan, somehow kita harus (selalu mencoba) melihat dari dua sisi. demi menjadi pejalan bertanggung jawab! :)
thanks kin, aku kan terinspirasi olehmu mba seleb. btw, jempolnya 2 aja, yang 2 lagi bau sikil.
post nya bagus kak :) menginspirasi, sukses terus ya kak!
Wiraaaa blognya keren sekali, suka. Ijin aku tulis di blog aku yaaa link blog kamu
Kecehhhh, eh wir layout baru ya? kok aku lebih suka layout yang lama kmaren ya, foto dan tulisannya rapi. IMHO lho he he
hehe, ini layoutnya buat foto 920px om. Postingan ini foto nya kecil jadinya berantakan :D
Bravo…..Papua aq akan datang ke wajahmu,,,,
awesome mas wir