Pulang

9

55

SIANG begitu terik. Di kejauhan terlihat kampung-kampung bajo yang mengapung di atas air. Suara mesin kapal beradu dengan suara air laut yang diterjang kapal. Musim barat belum tiba, tapi laut sudah cukup kuat untuk membuat kapal terpental-pental di atas perairan Wakatobi ini.

Pada sebuah anjungan kapal kayu tua yang membawa saya menuju Tomia, saya berbincang dengan seorang wanita. Umurnya mungkin sudah setengah baya. Perawakan khas Indonesia timur terlukis di wajahnya. Mereka tidak berada di dalam kapal, terlelap seperti penumpang lainnya. Namun, mereka terlihat memandangi langit Sulawesi tenggara ini dengan senyuman kecil penuh arti.

“Mau ke Tomia kah, Ina?” saya memulai pembicaraan, dengan sedikit logat sulawesi. Ina adalah Ibu dalam bahasa mereka.

“Tidak, saya ingin ke Kaledupa sana,” katanya sambil menunjuk pulau di kejauhan.

“Oh, sudah dekat rupanya. Ina orang asli sana kah?” tanya saya penasaran.

“Iya, tapi saya ini baru kembali kesana setelah 37 tahun di Malaysia. Mungkin keluarga saya sudah tidak mengenali saya,” katanya sambil sedikit tertawa.

Saya hampir tersedak kopi yang sedang saya minum mendengarnya. Kaget dan heran. Tiga puluh tujuh tahun? Are you kidding me?

Ternyata, ina ini sudah merantau ke malaysia sejak umur belasan tahun mengikuti temannya. Ia bercerita bahwa ia naik kapal layar dari Bau-Bau untuk menuju Malaysia. Kapal Layar, tidak menggunakan mesin. Wajar saja, waktu itu memang masih tahun 70-an.

Potret Ina

“Waktu itu butuh waktu satu bulan untuk sampai sana. Kami sempat kehabisan bahan makanan. Kapal berhenti di tengah laut, tidak ada angin….” . “Untung ada kapal nelayan yang membantu kami,” ujar ina mengenang masa lalunya.

“Yang lalu Ina juga pulang pakai kapal laut, sudah pakai mesin. Tiga hari sudah sampai Bau-bau” ujarnya gembira.

Saya, bagaimanapun harus bersyukur bisa terbang kesini dengan pesawat yang hanya beberapa jam saja.

****

Pulang. Kemanakah kita harus berpulang? Ke rumah? Apakah yang kita sebut rumah?

Pulang berarti kembali. Kembali ke tempat asal, tempat yang kita rindukan. Rumah. Pulang adalah sebuah perjalanan, yang tidak akan terjadi tanpa pergi yang mendahului.

Sejatinya, hidup adalah waktu untuk menunggu pulang. Waktu pulang akan tiba suatu saat nanti. Akan ada banyak kisah yang terjadi setelah kita pulang untuk diceritakan.

Saya memandang wajah tua Ina. Wajah yang nampak senyum dan kesabaran, serta rindu yang sudah tidak terkira. Kerut wajahnya banyak bercerita tentang kerasnya hidup. Dan kali ini ia akan pulang, pulang ke rumah yang sudah lama sekali dirindukannya.

Ina menyambut Kaledupa, rumah yang ditinggalkannya selama 37 tahun

**

“Ina akan tinggal di Wanci dengan suami, Ina akan bukan usaha kecil-kecilan disana,” ujarnya.

“Enak mana kerja di Malaysia atau Indonesia, ina?” tanya saya. Ia berpikir sejenak dan kemudian berkata,”Enak di Malaysia, gaji jelas lebih besar. Tapi, ina sudah rindu dengan Kaledupa…,” katanya sambil tersenyum.

Langit sebelah utara nampak kelam. Di kejauhan terlihat awan hitam membentuk angin tornado kecil. Agak seram juga membayangkan awan itu jika berada di atas kami. Sementara ina masih bercerita banyak tentang tempat ini. Tentang suku bajo yang katanya memelihara puteri duyung, tentang lumba-lumba yang dahulu banyak sekali, dan banyak cerita menarik lainnya.

Ojek perahu yang mengantarkan Ina

“Kaledupa-Kaledupa!” teriak awak kapal. Ternyata, kapal tidak bisa merapat karena air sedang surut. Terpaksa ina harus menggunakan “ojek” perahu kecil untuk mengantarkannya ke daratan Kaledupa. Ia naik ke kapal, sambil melambaikan tangannya ke saya.

Wanita tua itu, tubuhnya adalah bau rumah yang sebenarnya. Sampai jumpa ina, semoga kepulanganmu membawa berkah bagi diri dan keluargamu.

Lalu, tiba-tiba muncul pertanyaan di benak saya. Kemanakah kita akan pulang? Sudah siapkah kita untuk pulang?

9 COMMENTS

Bagaimana menurutmu? Silakan tinggalkan komentar dibawah ini ya! :')