Raja Ampat : An Epilogue

13
Me and a seafan. Photo by Regy Kurniawan
Me and a seafan. Photo by Regy Kurniawan

Layaknya matahari, saya percaya, Indonesia akan terbit dari timur. Dari Sabang sampai Merauke, memanjang dari barat ke timur, gugusan bentang alam hijau negeri kita ini selalu menggoda siapapun untuk menjejakan kaki dan menjelajahi seluruh isinya. Ini bukan bualan semata. Walaupun negeri ini tak punya keindahan musim semi seperti negeri sakura, selimut-selimut debu di negeri timur tengah, ataupun gumpalan salju seperti di negeri utara.

Teruntuk mereka yang menjadikan menyelam sebagai ritual perjalannnya, negeri kita yang tepat berada di garis khatulistiwa ini adalah sebuah keniscayaan. Segitiga terumbu karang dunia yang terletak sebagian besar di negeri ini, dan matahari yang tak kunjung padam sepanjang tahun, selalu ditafsirkan orang sebagai kepingan surga dunia. Saya pun mengamininya. Dan, bagi para pengagum misteri bawah air, hanya ada satu nama yang terbesit di benak mereka – Raja Ampat.

Raja ampat di mata penyelam bagaikan Mekkah bagi para muslim. Sebuah destinasi ‘suci’ yang wajib dikunjungi jika mampu pergi. Bagaimana tidak, negeri seribu atol ini adalah rumah bagi lebih dari 1300 jenis ikan, 75% species terumbu karang yang tersebar di planet ini juga menetap disana. Tak heran raja ampat mendapat julukan The best biodiversity on earth.

Saya selalu senang dengan laut. Lautan bagi saya adalah sebuah cermin langit yang disediakan Tuhan untuk menunjukan salah satu kuasanya. Laut membuat kita selalu sadar bahwa kita tak lebih besar dari buih-buihnya. Laut selalu mengajarkan kita untuk selalu bersyukur.

Beruntunglah saya, sebuah tulisan tentang kampanye penyelamatan hiu untuk divemag Indonesia membawa saya kembali ke laut. Bukan sekedar laut, ini adalah laut negeri kita yang menyimpan harta karun yang tak ternilai harganya. Bawah laut raja ampat, yang tak sempat saya nikmati pada kunjungan pertama tahun lalu, akan saya jelajahi tak lama lagi.

Secara tak sadar saya melompat kegirangan.

Pulau Mansuar
Pulau Mansuar

Pulau Mansuar, 27 Agustus 2013 ~

Dari jauh, mansuar terlihat seperti rimbunan belantara asri yang memanjang di atas laut sejauh mata memandang. Layaknya pulau tak berpenghuni, seperti yang saya rasakan saat melihat pulau-pulau di raja ampat. Lebih mendekat, kerumunan bakau kecil saling bersahutan dengan nyiur yang melambai.

Suara kayu yang menderit menyambut kami saat melangkahkan kaki di dermaga yang sudah mulai usang termakan air garam ini. Mansuar terasa begitu hening. Tidak ada suara apapun kecuali suara angin yang menyapu air sebening kaca di bawah dermaga. Aura ketenangan di mansuar membuat saya menghirup nafas dalam dalam, lalu terbius.

Seraya berjalan saya memandang ke bawah, seketika saya dibuat takjub. Ternyata, keheningan mansuar hanya ada di daratan. Di bawah dermaga, terlihat kericuhan ikan-ikan yang menari bersama-sama. Dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya. Di perairan yang hanya sedengkul orang dewasa, ikan-ikan ini bergerak bersamaan dengan arah acak tanpa komando.

Seketika darah saya naik penuh gairah, tak sabar rasanya ingin menceburkan diri ke air dan menikmati taman laut Raja Ampat. Tak sabar rasanya membayangkan kejutan apa yang akan diberikan oleh laut keesokan hari.

 

Dermaga Mansuar -  Raja ampat dive lodge, basecamp kami selama 5 hari kedepan.
Dermaga Mansuar – Raja ampat dive lodge, basecamp kami selama 5 hari kedepan.

13 COMMENTS

  1. Waduh … mas Wira kita hanya selisih beberapa hari, ane di Papua 21 – 25 Agt 2013 … sayang sekali …. Ane bareng beberapa teman ( 13 org ) ke sana. Btw … Wayag nya masih ditutup ga ?

Bagaimana menurutmu? Silakan tinggalkan komentar dibawah ini ya! :')