Komodo Sailing Trip Story #1

16

Nenek moyangku seorang pelaut. Hendak mengarung luas samudera…

ITULAH sepenggal lagu ciptaan Ibu Sud tahun 1940 yang sering dinyayikan oleh saya diwaktu kecil. Jauh hari sebelum Copernicus menyatakan bahwa bumi itu bulat, bangsa barat menyatakan bahwa bumi itu seperti meja datar.

Tentu nenek moyang kita (mungkin) tidak tahu mengenai hal ini, dan terus saja gagah berani mengarungi lautan.

Suasana Pelabuhan

Akhirnya, saya mencoba tantangan layaknya sang nenek moyang. Mencoba perjalanan laut dari Pulau Lombok, melewati sumbawa, menuju pulau Flores.

**

Saat ini saya berada di tengah lautan Sumbawa. Makin jauh dari daratan. Latar belakang gunung Rinjani masih ada bersama terbenamnya matahari, mengawali perjalanan saya sesaat setelah meninggalkan labuahan lombok. Suara mesin kapal sangat bising. Entah saya bisa memejamkan mata atau tidak malam hari nanti.

“Your english is very good, I can understand you well,” puji Marteen, backpacker asal Belanda yang menjadi kenalan saya dalam pelayaran menuju Flores. Saya memang cukup pede kalau bahasa Inggris, tapi hanya sekedar teori. Sekarang seorang bule memuji saya, berarti kemampuan conversation saya tidak terlalu buruk!

Ada dua puluh teman baru saya disini. Tidak ada yang warga Indonesia kecuali saya dan crew kapal. Saya sudah diberitahu sebelumnya oleh agen tour tentang ini, tetapi saya tentu menerimanya dengan senang hati.

Teman-teman mancanegara saya di kapal ini berasal dari Belanda, Australia, Rusia, Prancis, Korea, Canada, dan Ceko. Mereka semua berbahasa Inggris. Walau terkadang memakai bahasa nasionalnya sendiri, yang terdengan sangat aneh. Apalagi bahasa Rusia!

Suasana kabin kapal sore itu

Marteen adalah orang yang sangat talkative. Ia bekerja di sebuah perusahaan ekspedisi sebagai communication manager. Ia nampak sangat berbaur dengan semua orang. Kemudian ada pasangan Aaron dan Canada dan pacarnya Soun Yu dari Korea, Mike dan istrinya dari Australia yang sudah sering ke Indonesia.

Yang menarik perhatian saya adalah keluarga Rusia, mereka nampak sangat misterius. Selidik punya selidik ternyata mereka tidak bisa berbahasa Inggris kecuali anaknya. Anak perempuannya, Vera, mengatakan bahwa ayahnya sangat menyukai Indonesia sejak pertama kali kesini beberapa tahun lalu. Hal yang sama diungkapkan oleh yang lainnya. “You have a very beautiful country,” kata mike menepuk pundak saya sambil tersenyum.

Dibalap Ferry :(

Kapal kami hanya sebuah kapal kayu dicat putih, terlihat seperti bahan Fiber untuk speedboat, tetapi sebenarnya bukan sama sekali. Dengan kecepatan tidak lebih dari 10 knot, wajar tiga hari kemudian kami baru memasuki flores. Ketika berpapasan dengan Ferry yang sedang menuju sumbawa yang melesat jauh membalap kapal kami, Mike berkata kepada guide kami dengan muka meledek, ”We should’ve take that boat instead.” Saya cuma bisa ngakak.

Ada empat crew dalam pelayaran kami ini. Satu kapten, satu guide, beserta asisten dan juru masak. Sang kapten, Sanusi, adalah orang Bugis asli. “Saya yang buat kapal ini sendiri,” katanya bangga. Luar biasa, memang suku Bugis serta kapal phinisi-nya terkenal dengan ketangguhannya di atas samudera. Mungkin memang benar nenek moyang kita dahulu adalah seorang pelaut.

“You have a very beautiful country,” kata mike menepuk pundak saya sambil tersenyum.

Selama perkenalan kami, kami masih banyak berbincang tentang tempat-tempat di Indonesia. Dan, kebanyakan membahas tentang rinjani. Karena rata-rata mereka sudah pernah mendaki Rinjani! Untung saya sudah pernah kesana, jadi masih konek dengan mereka. Kalau tidak, paling cuma bisa mesem-mesem.

“I need three hour three and half hours for summit attack, what a long walk!” kata salah satu bule kanada.

“What the fu**,” kata saya dalam hati, yang waktu itu butuh waktu dua kali lipatnya…..

Kapal, sunset, dan Rinjani

Yang menarik waktu makan malam. Semua bule-bule ini makan banyak sekali. Tidak ada yang tidak dua piring. Nasi dan kari ikan malam itu ludes semua tanpa sisa! Sampai si Jerome dari prancis nekat menjilat (pakai tangan maksudnya) sisa kari ikan sampai bersih tempatnya. Haha, bule-bule ini terbius kegurihan penyedap rasa di warung.

Kapal terus melaju, suara desing motor kapal berjalan terus di utara pulau sumbawa. Membawa kami ke perhentian pertama keesokan hari, pulau Moyo.

Langit Sore itu, hingga malam hari ombak cukup besar sehingga kapal agak bergoyang
Saat melewati ujung paling timur pulau lombok
Terkena cahaya sore
Sunset di atas lautan sumbawa menutup hari kami

Pulau Moyo

Selepas tiga kilometer perairan utara sumbawa, akhirnya kami menemukan sebuah pulau. Sesaat setelah matahari terbit, pulau yang tadinya hitam mulai nampak. Hutan bakau menjadi selimut pulau ini.

Kami masuk ke dalam hutan pulau moyo, trekking menuju air terjun. Hutan pulau moyo sangat rimbun. Suara burung banyak sekali berkicauan, diiringi oleh sungai kecil berarus rendah yang airnya sangat jernih. Nampak beberapa batu digantung oleh tali di pepohonan, karena dipercaya penduduk untuk bisa mengabulkan permohonan mereka.

Moyo island waterfall

Waterfalls!” teriak salah satu teman saya. Tanpa komando, bule-bule itu langsung nyebur ke air terjun yang airnya sangat menyegarkan ini. Anehnya, bebatuan disini tidak licin sama sekali! Saya yang trauma karena pernah punya pengalaman buruk dengan air terjun tadinya hanya bersantai di pinggir. Tetapi melihat aksi teman yang lain, saya jadi tidak tahan. Akhirnya saya tidak menyesal ikut terjun ke air, karena mandi pagi di air terjun ini akan menjadi satu-satunya mandi untuk tiga hari kedpan. Moyo is fresh water paradise.

Pulau Satonda

Dermaga pulau Satonda, tempat snorkeling yang sangat menarik!

Masih bisa dibilang pagi ketika kami sampai di Satonda. Hmm, pulau ini sangat menarik menurut saya. Karena terdapat suatu danau air asin purba di tengah pulau ini, yang kadar garamnya jauh lebih tinggi daripada di lautan sendiri. Fantastis! Saya mencoba sedikit air di danau ini, sangat asin sekali! (yaiyalah)

Dan snorkeling di satonda bisa dibilang sangat istimewa. Hanya beberapa meter dari bibir pantai dekat pelabuhan, warna warni ikan dan terumbu karang sudah sangat menggoda. Sangat kontras sekali dengan danau di dalam pulau. Hampir sama sekali tidak ada kehidupan disana. Wajar, karena kadar garamnya yang sangat tinggi, tidak mungkin ada kehidupan yang bisa bertahan disana. Kecuali mungkin dengan evolusi jutaan tahun.

Danau air asin pulau Satonda

Ekosistem di pulau satonda masih sangat terjaga dengan alami. Mungkin karena memang tidak ada yang tinggal disini kecuali beberapa penjaga pulau untuk kepentingan wisata. Terlihat beberapa kelelawar dan monyet hidup bebas disini. Kesimpulannya, satonda adalah pulau yang sangat eksotis!

Setelah puas. Kapal mulai bergerak kembali. “We are depart for Gili Laba on Flores, We sail overnight, twenty hours from here!” kata salah satu crew kapal. (bersambung)

**

Komodo sailing trip story #2 : Gili laba & Pink Beach

Komodo sailing trip #3 : Bertemu si Komo! 

16 COMMENTS

  1. Mas Wira, ini “cuman” 4 hari gitu? cukup? maksudnya cukup puas sekalian motret2 dan berenang2?

  2. pas baca si bule yang bilang “you have a beautiful country”, merinding bacanya mas. yes indeed we have a beautiful country. sayang orang indonesia sendiri jarang yang keliling negaranya.

Bagaimana menurutmu? Silakan tinggalkan komentar dibawah ini ya! :')